Rabu, 07 Maret 2012

KEBEBASAN DAN KASIH TERHADAP PEKERJAAN TUHAN

“Tidak usah lagi ada orang laki-laki atau perempuan yang membuat sesuatu menjadi persembahan khusus bagi tempat kudus.” Demikianlah rakyat itudicegah membawa persembahan lagi” (Keluaran 36:6).
 
Di bawah sistem Yahudi, masyarakat diwajibkan membiasakan roh bermurah hati, baik memelihara pekerjaan Allah maupun menyediakan bagi kaum yang lemah. Pada tuaian dan hasil panen pertama, buah-buah sulung di ladang-ladang (jagung, anggur, dan minyak) harus diserahkan sebagai persembahan bagi Tuhan. Berkas sisa-sisa di ladang disediakan bagi orang miskin. Hasil pertama dari wol ketika domba dicukur, dari padi ketika gandum diirik, harus diberikan kepada Tuhan; dan pada perayaan diperintahkan agar orang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing harus diundang. Pada penutupan setiap tahunnya semua diwajibkan untuk memberikan sumpah khidmat apakah mereka sudah melakukan sesuai dengan perintah Allah atau tidak.
 
Pengaturan ini dibuat Tuhan untuk mengajarkan kepada bangsa itu bahwa dalam segala hal Ia harus dijadikan yang utama. Oleh sistem pendermaan ini mereka diingatkan bahwa Tuhan mereka yang Pemurah adalah Pemilik sesungguhnya atas ladang mereka, ternak mereka, bahwa Allah di surga mengirimkan matahari dan hujan untuk menanam benih dan menuai, dan bahwa segala sesuatu yang mereka miliki adalah dari ciptaan-Nya. Segalanya milik Tuhan, dan Ia telah menjadikan mereka para penatalayan harta benda-Nya.
 
Kemurahan bangsa Yahudi dalam mendirikan Bait Suci menunjukkan dengan jelas kebajikan tak sebanding dengan umat Allah di masa-masa berikutnya. Bangsa Ibrani baru saja dibebaskan dari perbudakan panjang di Mesir, mereka mengembara di padang belantara; namun belum lagi mereka lepas dari tentara Mesir yang mengejar mereka dalam perjalanan yang terburu-buru, ketika sabda Tuhan datang kepada Musa, “Berbicaralah kepada anak-anak Israel, agar mereka membawakan persembahan kepada-Ku: terimalah persembahan dari setiap orang yang memberinya dengan tulus ikhlas.”...
 
Semua memberi dengan ikhlas, bukan sejumlah tertentu dari bunga mereka, tetapi sebagian besar dari harta milik mereka. Mereka memberikannya dengan senang hati dan tulus kepada Tuhan. Mereka menghormati Dia dengan melakukannya. Bukankah itu semua milik-Nya? Bukankah Ia yang memberikan kepada mereka semua yang mereka miliki? Jika Ia menyuruhnya, bukankah tugas mereka untuk mengembalikan apa yang Ia sendiri telah pinjamkan? Tidak perlu pemaksaan. Orang-orang membawa bahkan lebih dari yang diperlukan; dan mereka diberitahu untuk berhenti, karena sudah berlebihan. —Review and Herald, 17 Okt. 1882.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar